Dilema Asia Tenggara: Antara Pesona Ekonomi China dan Bayang-Bayang Ketegangan Geopolitik
Manuver China di Tengah Perang Tarif AS: Sebuah Peluang Sekaligus Tantangan
Ketika Donald Trump memberlakukan tarif impor terhadap China pada 2017, negara-negara Asia Tenggara seolah mendapat angin segar. Perusahaan manufaktur berbondong-bondong merelokasi pabrik ke Vietnam, Kamboja, dan negara-negara tetangga, mengikuti strategi "China Plus One" yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada ekonomi Tiongkok dan mendukung visi Washington untuk menjauhkan diri. Namun, kebijakan tarif Trump edisi kedua justru menjadi bumerang. Vietnam, Kamboja, Indonesia, dan Malaysia turut terkena imbas tarif tinggi, dituduh sebagai "pengelak tarif" alih-alih mitra diversifikasi.
Momen inilah yang dimanfaatkan China untuk melancarkan "serangan pesona" yang terencana. Presiden Xi Jinping dalam kunjungan regionalnya menyerukan negara-negara Asia Tenggara untuk "bersama-sama melawan proteksionisme." Ia menjanjikan peningkatan impor dari Indonesia dan membangun citra China sebagai "pembela globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas" di tengah ketidakpastian global. Langkah ini tentu saja menarik perhatian, mengingat posisi ASEAN yang vital dalam rantai pasokan global dengan populasi 680 juta jiwa dan status sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia.
Ketergantungan Ekonomi Timbal Balik: Simbiosis Mutualisme yang Rawan
ASEAN memproduksi semikonduktor untuk Intel, ponsel pintar untuk Samsung, dan sepatu olahraga untuk Nike. Sejak perang dagang AS-China pertama, kawasan ini telah menarik investasi manufaktur global yang masif. Antara 2018 hingga 2022, perusahaan-perusahaan AS menyumbang 25% dari investasi manufaktur di ASEAN, jauh melampaui Jepang (11%) dan Uni Eropa (10%). Pangsa pasar China memang tumbuh dengan cepat, tetapi masih di sekitar 8%. Meskipun demikian, para pakar percaya angka sebenarnya lebih tinggi karena investasi yang disalurkan melalui Hong Kong dan entitas luar negeri.
Aturan tarif baru AS mengancam strategi China Plus One, sehingga negara-negara ASEAN berupaya meningkatkan investasi dari China. Namun, tantangan ekonomi yang dihadapi China berpotensi menghambat ekspektasi ini. Kesulitan yang dialami perusahaan-perusahaan tenaga surya China telah mengurangi penanaman investasi luar negeri (outbound investment) ke ASEAN pada 2024 silam, dan masalah serupa mulai muncul di sektor otomotif dan konsumen. Beijing bahkan mungkin akan semakin membatasi investasi asing untuk melindungi lapangan kerja di sektor manufaktur dalam negeri, mengingat pertumbuhan ekonomi yang lemah dan peningkatan angka pengangguran yang tengah dialaminya.
Hubungan ekonomi antara China dan ASEAN ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, China adalah pasar potensial dan sumber investasi yang sangat dibutuhkan. Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada China dapat membuat negara-negara ASEAN rentan terhadap fluktuasi ekonomi dan kebijakan Beijing.
Bayang-Bayang Geopolitik: Sengketa Wilayah dan Sentimen Etnis
Selain masalah ekonomi, ketegangan geopolitik tetap menjadi isu laten yang terus membayangi. "China dan negara-negara ASEAN adalah tetangga: saling bergantung, tetapi ada juga banyak gesekan," kata Profesor Ian Chong. Sengketa wilayah, terutama di Laut China Selatan, masih menjadi faktor krusial. Klaim tegas China tumpang tindih dengan klaim Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Mobilisasi komunitas etnis Tionghoa di negara-negara ASEAN oleh Beijing juga menimbulkan sensitivitas. Bagi negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, perlakuan China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang menjadi poin pertikaian lainnya.
Risiko meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan juga menjadi kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara. Kedua perairan itu merupakan jalur perdagangan penting bagi Asia Tenggara. Konflik apa pun di wilayah ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan berdampak parah pada ekonomi ASEAN.
"Negara-negara Asia Tenggara ingin berelasi dengan China tetapi tetap berhati-hati," kata Chong. "Mereka sangat menyadari risiko yang dapat ditimbulkan tindakan militer Beijing terhadap stabilitas dan kemakmuran mereka."
China menyadari dinamika regional ini. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Xi menekankan perjuangan bersama melawan kolonialisme, tetapi dia menghindari topik sensitif seperti Perang Sino-Vietnam 1979 atau sengketa yang sedang berlangsung di Laut China Selatan. "Dibandingkan dengan pendekatan garis keras China terhadap Filipina, pendekatannya terhadap Vietnam relatif lebih akomodatif," kata Carlyle Thayer.
Di Kamboja, keseimbangan yang rumit lainnya terlihat jelas. Diskusi tentang ekspansi Pangkalan Angkatan Laut Ream Kamboja yang kontroversial dan didanai oleh China diminimalisir selama kunjungan Xi. Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengadakan upacara peresmian pangkalan tersebut sebelum kedatangan Xi. Dia menekankan bahwa fasilitas itu tetap berada di bawah kendali Kamboja. "Langkah yang disengaja ini menyoroti keinginan China untuk mempertahankan niat baik di kawasan," kata Thayer.
Posisi Indonesia: Antara Netralitas dan Ketergantungan
Indonesia pun menghadapi tantangan serupa meski sampai sekarang masih mempertahankan sikap netral. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia akan terus berjuang untuk mandiri dan berkembang, terlepas dari tantangan pasar global. "Kita tidak akan pernah mengemis," tegasnya.
Akan tetapi, ketergantungan ekonomi Indonesia yang terus meningkat ke China memperumit situasinya. "Sepertinya tidak mungkin [bagi Indonesia untuk tetap netral]. Pada 2024, impor Indonesia dari China melonjak 33% dibandingkan tahun sebelumnya," ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). "Ini berarti, apa pun yang terjadi nanti, Indonesia akan semakin bergantung pada China dan makin dekat dengan BRICS."
Strategi Menghadapi Dilema: Penyeimbangan, Mengikuti Arus, Hedging, atau Netralitas?
Profesor Thayer menyimpulkan bahwa ada empat strategi umum untuk menghadapi situasi AS-China ini: penyeimbangan, mengikuti arus, hedging, dan netralitas. Negara-negara dapat beralih di antara berbagai strategi ini sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Filipina adalah contoh paling menonjol di Asia Tenggara dalam strategi penyeimbangan kekuatan; negara itu bersekutu dengan AS pada 1951 untuk melindungi diri dari China yang komunis. Strategi "mengikuti arus" adalah ketika negara yang lebih lemah memilih untuk berpihak pada negara yang lebih kuat untuk menghindari konflik atau dengan harapan mendapatkan dukungan. Dengan kedekatan hubungan mereka dengan China, baik Myanmar, Kamboja, maupun Laos, adalah contoh-contoh tipikal di Asia Tenggara. Malaysia dan Vietnam adalah dua contoh paling menonjol di Asia Tenggara yang telah berhasil menerapkan strategi hedging, yaitu ketika negara kecil menjalin hubungan dengan berbagai kekuatan secara bersamaan untuk menyeimbangkan pengaruh rival-rival yang lebih besar. Sementara negara-negara seperti India dan Indonesia telah mengikuti prinsip non-blok.
ASEAN berusaha untuk menampilkan front persatuan dalam menghadapi tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang memimpin ASEAN tahun ini, mengatakan bahwa negaranya akan "memimpin upaya untuk menampilkan front regional yang bersatu" dan memastikan "suara kolektif ASEAN didengar dengan jelas dan tegas di panggung internasional."
Dr. Peng Nian, Direktur Pusat Penelitian Studi Asia di Hong Kong, melihat munculnya strategi yang lebih bernuansa. "Negara-negara Asia Tenggara semakin melihat melampaui pilihan biner AS-China. Mereka mendiversifikasi kemitraan ekonomi ke arah Eropa dan pasar-pasar lain untuk mengurangi ketergantungan pada salah satu negara adidaya."
Kesimpulan: Menavigasi Lautan Ketidakpastian
"Serangan pesona" China di Asia Tenggara menawarkan peluang ekonomi yang signifikan, tetapi juga membawa serta tantangan geopolitik yang kompleks. Negara-negara di kawasan ini harus menavigasi lautan ketidakpastian dengan hati-hati, menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan pertimbangan keamanan dan kedaulatan. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara terbesar di ASEAN, memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan kemakmuran kawasan ini. Sikap netral yang dianut harus diimbangi dengan strategi diversifikasi ekonomi dan diplomasi yang aktif untuk memastikan bahwa Indonesia tidak terjebak dalam pusaran persaingan kekuatan besar. Masa depan Asia Tenggara akan sangat bergantung pada kemampuan negara-negara anggotanya untuk menjaga keseimbangan dan beradaptasi dengan perubahan lanskap geopolitik global.
Post Comment