Dari Ambisi Politik hingga Bilik Palsu: Kisah di Balik Mesin Cetak Uang Palsu di UIN Makassar
Di balik tembok megah Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, sebuah rencana tersembunyi dijalankan. Bukan untuk mencetak ilmu pengetahuan, melainkan lembaran-lembaran uang palsu. Bagaimana bisa sebuah institusi pendidikan ternama menjadi lokasi operasi ilegal ini? Kisah ini bermula dari ambisi politik, pertemanan yang keliru, dan penyalahgunaan wewenang.
Ambisi Politik dan Pencarian Donatur
Andi Ibrahim, mantan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memiliki ambisi besar: menjadi Bupati Barru pada Pilkada 2024. Namun, ambisi membutuhkan modal. Dalam upayanya mencari donatur, ia bertemu dengan Annar Salahuddin Sampetoding. Pertemuan ini menjadi titik balik yang membawa Andi Ibrahim ke jalan yang salah.
Annar, yang mengetahui niat Andi Ibrahim, mengarahkannya kepada Muhammad Syahruna. Syahruna, seorang yang telah "berpengalaman" dalam dunia pemalsuan uang, menjadi kunci dalam rencana jahat ini. Kolaborasi antara ketiganya pun terjalin pada September 2024.
Modal Awal dan Peralatan Produksi
Andi Ibrahim memberikan modal awal sebesar Rp 4 juta kepada Syahruna. Uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan dasar seperti screen printing, rakel, tinta sablon, dan tinta printer. Sementara itu, Annar menyediakan peralatan tambahan berupa komputer, printer, monitor, dan kertas.
Awalnya, produksi uang palsu dilakukan di rumah Annar. Namun, aktivitas ilegal ini tidak berlangsung lama di sana. Annar merasa tidak nyaman dan menolak jika rumahnya terus dijadikan tempat produksi uang palsu. Syahruna kemudian menyarankan Andi Ibrahim untuk menyewa ruko sebagai alternatif. Namun, lagi-lagi, masalah modal menjadi penghalang.
Perpustakaan UIN Makassar: Lokasi Tersembunyi
Dalam kebuntuan mencari lokasi yang aman dan terjangkau, Andi Ibrahim, sebagai Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, menawarkan solusi yang mengejutkan. Ia mengusulkan untuk memindahkan seluruh peralatan dan bahan pembuatan uang palsu ke Gedung Perpustakaan kampus.
"Maka terdakwa Andi Ibrahim yang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan di Kampus UIN Alauddin Makassar menyampaikan untuk memindahkan alat dan bahan pembuatan uang palsu ke Gedung Perpustakaan Kampus UIN Makassar," ungkap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang dakwaan.
Usulan ini tentu saja sangat berisiko. Namun, dengan jabatannya sebagai Kepala Perpustakaan, Andi Ibrahim merasa memiliki kendali dan dapat menyembunyikan aktivitas ilegal ini dari staf dan mahasiswa.
Bilik Palsu di Lorong WC
Mesin dan peralatan cetak uang palsu akhirnya dipindahkan ke perpustakaan UIN Alauddin Makassar. Lokasi yang dipilih sangat strategis: lorong WC sebelah kanan perpustakaan. Untuk menyembunyikan aktivitas mereka dari pandangan orang lain, mereka memasang dinding sekat.
Dengan adanya dinding sekat, lorong WC tersebut berubah menjadi bilik rahasia tempat produksi uang palsu. Staf perpustakaan dan mahasiswa yang berkunjung tidak akan menyangka bahwa di balik dinding tersebut, sebuah kejahatan sedang berlangsung.
Motif dan Dampak
Motif utama Andi Ibrahim dalam kasus ini adalah ambisi politiknya. Ia membutuhkan dana untuk maju sebagai calon Bupati Barru. Namun, tindakan ini tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga mencoreng nama baik UIN Alauddin Makassar sebagai institusi pendidikan Islam yang terkemuka.
Kasus ini juga menunjukkan betapa mudahnya seseorang dengan kekuasaan dan wewenang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Andi Ibrahim, sebagai Kepala Perpustakaan, seharusnya menjadi teladan bagi staf dan mahasiswa. Namun, ia justru terlibat dalam tindak pidana yang merusak citra lembaga.
Implikasi Hukum dan Etika
Tindakan Andi Ibrahim dan kedua rekannya memiliki implikasi hukum yang serius. Pemalsuan uang adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman berat. Selain itu, tindakan mereka juga melanggar etika sebagai seorang akademisi dan pejabat publik.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya integritas, tanggung jawab, dan moralitas dalam menjalankan tugas dan wewenang. Ambisi politik seharusnya tidak membutakan mata hati dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan merugikan orang lain.
Refleksi dan Pencegahan
Kasus uang palsu di UIN Alauddin Makassar menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan pengelolaan aset di lingkungan kampus. Selain itu, pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai moral juga harus ditingkatkan.
Pencegahan tindak pidana seperti ini membutuhkan kerjasama dari semua pihak, mulai dari pimpinan universitas, staf, mahasiswa, hingga masyarakat luas. Dengan meningkatkan kesadaran hukum dan moral, kita dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi dan kejahatan lainnya.
Kisah ini adalah pengingat bahwa kejahatan dapat terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebaikan. Kewaspadaan dan integritas adalah kunci untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan.
Post Comment